Jumat, 13 Juli 2012

"ASBUN"-Pameran Beregu Komunitas 08,5

Komunitas 08'5 beserta Warung Imajinasi mempersembahkan Pameran "Asbun"
13-20 Juli 2012 @ Warung Imajinasi

Peserta Pameran :
- Apip
- Gatra Bahtera
- M. Rico Wicaksono



- Muldhan Pribadi
- Zaki Hamdani

Kurator :
Rizky "Pocong" Nugraha





Gimana Sih Bunyinya Asal?

Apakah orang kampung berkarya seperti seniman akademis berkarya?
Siapakah “orang kampung” sebenarnya kita tidak tahu pasti. Apakah orang yang tinggal di dusun terpencil, ketinggalan zaman, taraf pendidikan dan ekonomi rendah, dan norak?Atau apakah orang yang tinggal di dusun tapi melek politik, tidak cerdas secara akademis tapi cerdas dalam kehidupan, dan meraih sukses dengan kerja keras? Atau bagaimana dengan orang yang tinggal di kota, hidup modern dengan arus informasi membanjir tapi penuh gengsi, tidak punya softskill, sok keren dan sok pintar plus tingkah polah yang membuat kita ingin muntah?
Terlepas dari siapa orang kampung sebenarnya terserah anda bagaimana menafsirkannya. Dalam konteks kekaryaan orang kampung memang sudah memasuki budaya berkarya, namun belum memasuki budaya apresiasi dan kritisi seni. Mereka tidak terlalu mengenal teori seni, tidak tahu apresiasi selain ‘ini bagus-ini jelek’, tidak tahu apa itu performance art, mural, kurator. Mereka belajar secara otodidak. Yang mereka tahu hanyalah menggambar, melukis, kerajinan tangan dan atau mematung meski kadang mereka berkarya secara lebih serius; dengan eksplorasi media, teknik dan konsep.
Pernah terlintas pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya mereka menggambar dan apa tujuannya. Apa inspirasi mereka, proses mereka berkarya, sampai keberanian mereka menunjukkan karya di depan umum. Namun pertanyaan itu menguap begitu saja, karena setidaknya sampai saat ini komunitas 08,5 -- dan mungkin kita tidak terlalu mementingkan jawaban tersebut. Kata “mereka” yang merujuk pada “orang kampung” sendiri terdengar diskriminatif dan seolah memperlebar jurang perbedaan sosial antara seniman akademis dengan seniman non akademis. Tapi bukan itu yang diangkat dalam pameran ini.
Melongok kembali dua dekade kebelakang, kuas dan cat masih menjadi salah satu media populer untuk berkarya. Memang ada rentang waktu yang lebih panjang, tapi dua puluh tahun kebelakang sengaja dipilih karena pada saat itu anggota komunitas 08,5 masih berupa bocah-bocah kecil olo leho yang tidak punya pemahaman khusus tentang apa itu estetika. Masih orang kampung yang hanya tahu ini bagus ini jelek menurut selera. Pada saat itulah bocah-bocah kecil ini diajak mamih-papih jalan-jalan ke kota. Keluar rumah menuju hiruk pikuk keramaian orang-orang dan melihat-lihat karya seni yang saat itu masih dibuat secara manual. Spanduk, gambar di warung angkringan, reklame, lukisan film bioskop, dan lukisan di belakang bak sebuah truk. Karya yang cenderung dihiraukan, tidak didengar karena dianggap tak punya pengaruh yang berarti bagi sekitarnya namun hingga kini menjadi memori visual yang begitu lekat.
Memori visual inilah yang belakangan muncul kembali lewat nostalgia tentang keriangan masa kecil. Memori visual yang menggelitik karena bersenggolan dengan teori-teori seni di bangku kuliah dan karya-karya seniman yang bukan hanya kota tapi juga internasional, beradu dengan pelajaran-pengalaman yang mengubah pola pikir naïf menjadi lebih rumit. Menertawakan bagaimana lucunya sosok gadis seksi terlukis di belakang bak truk, yang wajah dan anatomi tubuhnya “menyon”, komposisi dan warna yang kurang sedap dilihat. Tak lupa tipografi yang tak sinkron dengan gambar. “Kutunggu jandamu”, “doa ibu”, “futri”, “alim ah getek” hingga proto-alay seperti “miss kind do it”, “1000 ligir”, “itung2 ku5cul”, ”g4ul”, dan macam-macam lagi. Anda boleh saja menambahnya sendiri jika punya memori visual yang sama.
Entah bagaimana prosesnya namun hingga kini, 2012 yang ramai dengan digital printing, karya semacam itu masih saja muncul. Tema dan media memang berkembang sesuai zaman. Ada Kenshin Himura yang “menyon” di body angkot, tato Naruto di tubuh preman, Jin Kazama bersanding dengan bintang Bollywood di stiker panjang di depan angkot atau mobil pick-up, lukisan bak truk yang kini menggunakan airbrush, malah ada juga yang nekat bikin cutting sticker bertuliskan merek distro. Untuk sementara kita tentu mensinyalir bahwa banyak dari mereka berkarya hanya bermodalkan skill –atau bisa juga ‘karena pengen’ atau tuntutan ekonomi, tanpa adanya bekal teori apalagi wacana sehingga kurang inovatif. Si kemarin yang tinggal di hari ini. “Gundul pacul” kata Emha Ainun Nadjib. Persetan kata orang, biar jelek, yang penting tampil. Begitu pula apresiasi di kalangan mereka sendiri. Stuck, usai pada komentar ‘bagus’ atau ‘jelek’. Memang belum ada informasi yang sampai pada komunitas 08,5 tentang bagaimana proses kekaryaan mereka secara pasti. Dan komunitas 08,5 sendiri tidak berniat untuk meneliti hal tersebut karena proses kekaryaan yang “serius dan menarik” tidak tampak dari mereka apalagi meneliti mengapa syahwat harus terpampang di bak truk. Apakah wanita seksi dan etos kerja memang terbukti secara positif korelasinya, dan kenapa tipografi yang tidak nyambung dengan gambar dan produk yang dibisniskan seolah menjadi kata mutiara.
Itulah yang mungkin menyebabkan salah satu anggota 08,5 menyebutnya ‘kampring’ karena tidak ditemukan padanan kata yang pas untuk mewakilinya. Pameran ini tidak bermaksud menilai atau men-tribute to ‘kampring’ karena memang penilaian 08,5 berada di level antara bagus dan jelek. Begitu pula prinsip ‘karya aing kumaha aing’ yang berarti tidak ada gunanya penilaian kita atas karya mereka. Sulit dijelaskan bahwa ada juga “seniman” yang belajar secara akademis tapi karyanya sama-sama ‘kampring’ meskipun si empunya karya kenal teori dan wacana. Itu kadang menjadi obrolan tersendiri. “Karya yang jelek adalah karya yang belum dibuat”, yah..kalimat itu kadang jadi penyemangat, kadang jadi penghibur belaka.
Kemudian muncul inisiatif mengangkat tema ‘kampring ‘ ini ke pameran setelah muncul beberapa drawing iseng beraroma ‘kampring’. Tak ada wacana berat yang dibuka selain memperlihatkan betapa karya ‘kampring’ bisa menggelitik anda. Beragam tema mulai dari homoseksualitas, dadaisme, sikap malas para mahasiswa, dendam mahasiswa pada dosennya, tingkah masyarakat metropolitan dan lain sebagainya. Mayoritas medianya hanya kertas dan tinta. Tak ada media istimewa, tak ada teknik istimewa dan tak perlu dianggap serius. Maaf saja kalau ‘gundul pacul’. Anggap saja memperkaya khazanah ke’kampring’an yang tidak perlu dihiraukan karena memang tidak terlalu berarti. Apalagi sampai harus diteliti menurut teori psikologi gambar. Seperti celetukan yang kerap muncul tanpa ada arti dan maksud jelas. Kalau tidak enak untuk apa diambil hati, kalau ada hikmahnya ya syukur. Asal bunyi. Asbun.

Rizky "Pocong" Nugraha

Pembukaan : 13 Juli 2012 - 19.00 WIB @ Warung Imajinasi

Diramaikan oleh :

Performance art :
- Agung Jek
- Regu Kecoa
- TAI KOTOK

Musik :
- Fawse
- Feleon
- Reza Woody

Dan lain-lain.

Ngobrol Hangat Bersama Perupa: 18 Juli 2012 - 16.00 WIB

Tiada Kesan Tanpa Kehadiranmu!

http://www.facebook.com/events/436809713031076/